1.
Tafsiran
a. Sabbat
sebagai keharusan dalam hidup orang Israel (ay. 8)
Tanah
merupakan milik Allah yang dianugrahkan kepada orang Israel, terkhusus tanah
Kanaan (tanah perjanjian). Hasil dari tanah juga bukanlah atas usaha manusia
saja, tetapi tergantung kepada kemurahan Allah. Dengan demikian ditetapkanlah
satu hari sebagai hari peristirahatan dari pekerjaan sebagai pengakuan atas
kemurahan Allah yaitu sabbat. Dalam ayat 8 kata “ingatlah” terjemahan dari kata
“zakor” dalam bahasa Ibrani yang
merupakan sebuah kata dasar infinitif absolut ekuivalen dengan kata kerja
perintah yang tegas. Kata ini menunjukkan konteks perjanjian yang wajib
dilaksanakan dalam pemahaman untuk mematuhinya tanpa penyelewengan dan
melanjutkannya sebagai prioritas dalam hidup. Secara etimologi kata sabbat
menunjukkan adanya sosialisasi kultus dan penanggalan. Sabbat merupakan istilah
yang menunjukkan hari penghentian, karena alasan agama dari rutinitas normal
sehari-hari. Sabbat merupakan milik Tuhan sebagai hari untuk tujuan suci dan
bebas dari tenaga kerja untuk mencari rezeki.[1]
Kata
“ingatlah” menunjukkan bahwa sabbat sebagai keharusan. Orang Israel merupakan orang
yang dibawa Allah keluar dari tanah Mesir. Selama di Mesir mereka hidup sebagai
budak yang bekerja tanpa berhenti (Kel. 1:11). Namun saat Allah membawa mereka
keluar dari Mesir, maka Allah menganugrahkan kebebasan bagi mereka dan mereka
boleh berhenti. Hal ini berimplikasi untuk merayakan sabbat sebagai kenyataan
yang ada sekarang.[2]
Selain kata ingatlah, kata “kuduskanlah” juga menunjukkan sabbat sebagai
keharusan. Kata “kudus” merupakan terjemahan dari kata qadosy dalam bahasa Ibrani yang berarti terpisah atau khusus. Kudus
biasanya diperuntukkan bagi Allah yang dalam zat-Nya, Dia terpisah dari segala
makhluk atau ciptaan. Sehingga “kudus” menjadi inti realita ilahi yang di
dalamnya terdapat sifat ilahi seperti kasih, kemurahan, kebenaran, kesucian dan
kuasa ilahi dari Allah. Oleh karena itu, hari sabbat menjadi hari yang
dikhususkan untuk Tuhan sebagai objek perhentian-Nya dan sarana pelaksanaan
kehendak-Nya, sehingga mencerminkan sifat-sifat ilahi.[3] Pelaksanaan
akan sabbat menunjukkan adanya hari khusus untuk Tuhan yang menyatakan bahwa
Tuhan adalah tuhan atas waktu, Dialah yang menguasai waktu.[4] Orang
Israel yang dibebaskan oleh Tuhan dengan kuasa-Nya, secara otomatis menjadi
umat kepunyaan Allah yang harus menaati kehendak Allah. Sabbat sebagai hari
peringatan akan besarnya anugrah Tuhan dan adanya satu hari khusus untuk Tuhan.
Berhenti dari pekerjaan di hari yang dikhususkan Tuhan ini, menuntut umat
Israel harus mengkhususkan hari itu mengucap syukur kepada Tuhan.
b. Larangan
bekerja pada hari sabbat (ay. 9-10)
Bekerja
selama enam hari dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari adalah waktu yang
cukup, karena kehidupan tidak hanya terdiri dari pekerjaan. Dalam perjalanan
kehidupan orang Israel menuju tanah Kanaan di padang gurun, Tuhan memberikan manna
kepada mereka sebagai makanan. Pada hari keenam Tuhan menggandakan manna tersebut,
agar pada hari ketujuh mereka berhenti secara penuh (Kel. 16:22-24).[5] Mereka
bisa melaksanakan semua tugas mereka selama 6 hari, tetapi pada hari ke-7
mereka harus menghormati Tuhan dengan beristirahat. Hari itu merupakan hadiah
dari Tuhan dan orang-orang mengambil bagian dalam kesukaan-Nya.[6]
Perhentian
pada hari ketujuh ini juga berlaku kepada orang asing yang ada di tempat kediaman
orang Israel, bahkan ternaknya pun tidak boleh bekerja pada hari itu. Tuhan
sendiri menguduskan dan memberkati hari ini. Ini menunjukkan bahwa Dia juga
ikut beristirahat pada hari itu. Setelah Dia mencipta selama 6 hari, ia
berhenti pada hari ketujuh. Sabbat mengikat struktur alam semesta dari upaya
lain untuk membujuk orang Israel menjaga hukum keempat. Oleh karena itu orang
Israel pun harus menghormatinya dan melakukannya dalam kehidupan mereka.
Sabbath dalam Ulangan diperingati sebagai keluarnya mereka dari Mesir dan
pembebasan Israel. Sabbath sebagai hari ketergantungan mereka dengan Tuhan
tetapi juga kemerdekaan mereka dari semua orang dan kekuasaan.[7]
Sejarahwan menunjukkan bahwa hari ketujuh merupakan hari besar yang berasal
dari Israel.[8]
Meskipun menurut teori orang Babel dan Asyur, orang Keni merayakan hari
demikian sebelum zaman Musa.[9] Teori
ini merupakan salah satu teori yang memberitahukan tentang asal mulanya hari
sabat. Secara etimologi, “Keni” berarti pandai logam. Dengan demikian timbul
dugaan bahwa pantangan memasang api pada hari sabat (Kel. 35:3) berasal dari
kalangan Keni yang kemudian mewariskannya kepada umat Israel dan berkembanglah
larangan-larangan yang berkenaan dengan hari sabat.[10]
Dalam
ayat 9-10 terdapat pikiran yang penting, yaitu bukan hanya rumah tangga yang
berhenti dari pekerjaan, tetapi juga anak-anak, hamba-hamba, orang-orang asing,
juga hewan, bukan hanya lelaki tetapi juga perempuan. Hal ini berarti bahwa
hormat kepada Tuhan berhubungan erat dengan keprihatinan sosial, bahkan dengan
keadilan (UL. 5:14-15, dimana lembumu, keledaimu), bahkan mereka juga
diingatkan bahwa mereka dulu adalah budak di tanah Mesir.[11] Aturan
ini khas dan baru dalam budaya dunia dan menjadi hari yang sangat penting bagi
orang Yahudi yang terbuang dan tersebar di seluruh dunia.[12]
Asal-usul
orang Israel sebagai budak, mengingatkan mereka bahwa kelangsungan hidupnya
tergantung kepada Tuhan pemberi berkat, bukan pada perencanaan yang bagus dan
jerih payah manusia.[13]
Oleh karena itu, pada hari yang ditetapkan Tuhan sebagai hari yang kudus,
dilarang untuk melakukan pekerjaan apapun. Siapapun dilarang bekerja pada hari
itu, termasuk orang Israel sendiri, anaknya laki-laki atau perempuan, hambanya,
hewannya dan orang asing yang berada di tempat kediaman mereka (ay. 10). Ayat
ini menunjukkan bahwa sabat tidak dianggap sebagai beban melainkan sebagai
berkat yang harus diteruskan kepada orang lain. Rasa syukur atas pembebasan
yang sedang dinikmati oleh anggota umat Israel,
harus membangkitkan rasa kasihan untuk para hamba yang mereka
pekerjakan. Ini bisa juga disebut sebagai tuntutan untuk bertindak manusiawi dengan
memberikan waktu istirahat bagi para hambanya setiap sabat.[14]
Demikian juga dengan orang asing (ger)
atau orang pendatang sama seperti Musa
di tanah Midian (Kel. 2:22).[15]
c. Tuhan
turut beristirahat pada hari sabbat
Kata
Sabbat terkadang berhubungan dengan kata tujuh, yang kenyataannya 7 hari dari
seminggu dalam kalender Ibrani. Ada dua alasan ketaatan untuk hari sabbat,
yaitu: pertama, Allah beristirahat
dari aktifitas penciptaannya di hari ketujuh. Kedua, ketaatan Sabbat sebagai
sebuah peringatan keluarnya dari Mesir.[16]
Hari sabbat dimulai di Israel sebagai hari istirahat, bahkan bagi para pelayan
dan budak. Ada dua prinsip dibalik perintah ini, yaitu pertama, harus ada ritme
kehidupan, kerja, istirahat dan pastinya ibadah di tengah-tengah kehidupan yang
berkelanjutan. Kedua, semua waktu
adalah milik Tuhan. Dalam 7 hari ditetapkan satu hari khusus yang berfungsi
mengingatkan pada kesucian setiap harinya.[17]
Tuhan
sendiri beristirahat pada hari sabat (ay. 11). Dalam kitab Kejadian, dia
berhenti dari pekerjaan pada hari ketujuh sesudah menciptakan langit dan bumi.
Pekerjaan Tuhan atas karya dalam menciptakan telah selesai pada hari keenam.
Lalu Allah menyempurnakannya pada hari ketujuh (Kej. 2:3).[18]
Tuhan beristirahat, maka umat Israel harus beristirahat juga. Manusia
diciptakan sebagai makhluk yang membutuhkan perhentian dari pekerjaan. Jika dia
berhenti pada kesempatan yang sesuai, berarti dia mengikuti contoh serta jalan
Tuhan.[19]
2.
Sabat
penting
a. Peringatan
keluarnya orang Israel dari Mesir
“Akulah
Tuhan Allahmu yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari rumah
perbudakan” (Kel.20:2). Keluaran dari Mesir adalah suatu dasar bagi berdirinya
umat Israel. Adanya kuasa perbuatan Allah lahir dari bangsa Israel yang dipilih
oleh Allah sebagai uat pilihanNya, selain itu dasar berdirinya umat Israel juga
didasari dengan adanya pemilihan para bapa leluhur, dimana Allah yang
menyatakan diriNya di gunung Sinai oleh pemberian tanah Kanaan, dan menurut
kitab-kitab perjanjian lama juga adanya pembimbingan bangsa Israel di gurun (Ul
32:10; Hos 9:10; Yer 31:2-3). Dalam penciptaan langit dan bumi secara tidak
langsung mengarah kepada kelahiran umat Israel.[20]
Allah
dikatakan sebagai “pembawa bangsa Israel keluar dari Mesir”atau membawa bangsa
Israel keluar dari Mesir atau membawa naik. Peristiwa itu juga berkaitan dengan
tindakan dari pihak umat Israel. Bangsa Israel berjalan keluar (Kel 15:14; Yos
2:10; 5:4; 6; 2 Raj 8:9; Mik 7:15) atau berjalan naik dari Mesir ke Kanaan (Kel
1:10; 13:18; Hak 11:13; 19:30; Bil 32:11; 1 Sam 15:2, 6), tidak hanyabangsa
Israel saja yang digerakkan oleh Allah, namun para bapa leluhur juga digerakkan
oleh Allah. Berkaitan dengan Keluaran juga dapat dijadikan sebagai puji-pujian,
bahwa puji-pujian itu patut ditujukan kepada Allah karena Allah yang
dimungkinkan, menyebabkan, menyanggupkan umat sehingga mereka dapat keluar dari
tanah perbudakan atau tanah Mesir dan naik ke tanah yang sudah dijanjikan Allah
kepada mereka. Allah lah yang mengajak, memimpin, menghantar, dan menyertai
mereka selama berada di tanah perbudakan. Israel benar-benar berangkat sendiri,
namun sebenarnya bahwa Allah lah yang memberangkatkan umatNya tersebut (Mas
78:52), hal itu berarti bahwa kata “membawa keluar” menekankan pada pembebasan
dan kata “membawa naik” menekankan kepada Allah yang mengantarkan umatNya ke
tanah yang dijanjikanNya. Dalam hal ini sudah jelas bahwa Allah yang
membebaskan, memerdekakan umatNya.[21]
Von
Rad mengatakan bahwa Allah yang menyatakan namaNya adalah Allah yang menyatakan
janjinya terhadap umatNya. Melalui penyataan nama Allah, disana Allah sedang
mengikat kembali perjanjianNya kepada umat agar antara Allah dan umat bisa saling mengenal. Nama Allah yang
diperkenalkan adalah dirinya sendiri. Di dalam nama Allah terdapat kekuatan dan
kedaulatan Allah, dengan demikian umat yang diperkenalkan harusnya tetap ikut
dan masuk dalam janji yang dinyatakanNya. Allah menyatakan diri di gunung Sinai
yang menjadi tempat Musa menerima hukum Allah menjadi sebuah kontroversi tersendiri
bagi umat. Dalam paham mereka bahwa Allah yang menyatakan diri di atas gunung,
berarti Allah tinggal di tempat tersebut. Ketika Allah menyatakan dirinya dia
sedang memberikan kebebasan kepada umat agar terlepas dari penderitaan mereka
sendiri. Melalui janji Allah umat sedang mengalami pembebasan, terutama
pembebasan dari penyembahan berhala yang mereka lakukan dipadang gurun. Dekalog
atau Taurat menjadi dasar perjanjian mereka dengan Allah sekaligus pembebasan
mereka. Melalui Taurat mereka akan menuju pembebasan sebagai ikatan. Musa
menjadi tokoh sentral ketika Allah menyatakan namaNya. Teologi dari penyataan
akan nama Allah adalah pembebasan umat Israel dari padang gurun.[22]
b. Sabat
bagi Tuhan setelah melakukan penciptaan
Istirahat
pada hari sabat berhubungan dengan istirahat pada hari ketujuh. Selama enam
hari terjadi 8 tindakan penciptaan, dengan dua tindakan penciptaan pada hari
ketiga dan keenam. Hari sabat dalam Keluaran 20:8 dihubungkan dengan awal mula
dunia yang terikat pada penciptaan.[23] Hari
perhentian kerja sangat penting bagi Israel dikukuhkan oleh perhentian kerja
Allah sendiri dalam karya penciptaan (Kej. 2:1-3). Sabat merupakan hari
kesukaan (Hos. 2:11) dan untuk pergi ke bait Allah (Yes. 1:13). Sabat menjadi
tanda nyata dari identitas nasional Israel, sesudah pembuangan oleh Nehemia
(Neh. 13:15-23).[24]
3.
Hubungannya
dengan bidang lainnya
a. Ekonomi
Tanah
adalah milik Tuhan dan umat Israel harus memberikan persembahan sebagai bentuk
pengakuan bahwa Tuhan berhak atas milik mereka seluruhnya. Baik itu berupa
hasil pertama dari tanah (Kel. 23: 19) dan persembahan sepersepuluh dari hasil
ladang (Ul. 14: 22-29; 26:12-15). Namun tanah juga butuh istirahat[25]
(Im. 25:1-13). Tanah tidak dipaksa untuk berproduksi, humus tanah kembali lagi
dan kemudian tanah siap ditanami lagi. Peristirahatan tanah ini merupakan
praktek sabat untuk tanah. Umat Israel tidak perlu khawatir sebab Tuhan akan
memberkati dengan cukup pada tahun keenam untuk hasil tiga tahun, yaitu tahun
kedelapan masa menabur dan tahun kesembilan masa menuai (Im. 25:20-22). Dengan
demikian, Israel diingatkan bahwa tanah diberikan bukan untuk memuaskan
kerakusan manusia. Tanah juga mempunyai hak dan keberadaannya sendiri yang
harus dihormati. Sehingga kegiatan ekonomi tidak diberhalakan.[26]
b. Sosial-Kemanusiaan
Isi
dari Kel. 20:10 merujuk kepada nilai sosial atau kemanusiaan. Sabat bukan hanya
tentang hari ketujuh, tetapi juga tahun ketujuh dsb. Tahun ketujuh tanah tidak
ditanami dan orang Israel tidak menuai dari tanah yang sedang diistirahatkan
itu. Dalam perjanjian lama, kaum miskin merupakan orang yang tidak punya tanah,
seperti hamba dan orang asing. Tetapi mereka boleh menikmati hasil dari tanah
pada tahun ketujuh itu (Ul. 15:1-18; 22:1-4) dan segala yang tumbuh sendiri di
tanah majikan pada tahun ketujuh harus dibiarkan dan ditinggalkan begitu saja
menjadi hak orang upahan dan orang asing yang tinggal padanya (Kel. 23:11, Im.
25:6). Dalam hal ini pemilik tanah tidak boleh serakah. Hal ini mereka lakukan
untuk mengingat bahwa mereka juga dulu adalah budak di negeri orang asing.
Dalam perjanjian lama janjin perhentian dilambangkan dengan tanah perjanjian.[27]
Gambaran
Israel dan binatang menyambut pembagian dari sumber tanah yang tidak dikerjakan
(Im. 25:6-7) sebagai manifestasi kesuburan tanah. Semua ciptaan beristirahat
dan mampu menerima dari penciptanya tanpa kerja keras. Tahun sabat disebut
sebagai innebhey nezirekha yang
biasanya diterjemahkan tumbuh-tumbuhan
dari penuaianmu. Pengukuhan kekudusan tanah ditandai oleh tumbuhan dari
tuaian sebagai metafora untuk status tanah yang kudus. Hubungan visual antara
gambaran dari yang tidak dipelihara dan mengadakan pertumbuhan tidak teratur
atas permukaan tanah itu.[28]
[1] Lih. J. Durham, WBC Vol. 3: Exodus, WACO, Texas 1987:
hlm. 288.
[2] Lih. I. J. Cairns, Tafsir Alkitab: Kitab Ulangan pasal 1-11,
BPK-GM, Jakarta 1986: hlm. 117. Pemakaian buku ini dalam paper ini dikarenakan kitab
Ulangan sering disebut sebagai penjelasan
atas kitab Keluaran atau kitab ulangan sebagai edisi lanjutan dari kitab keluaran (pernyataann didukung oleh H.
Sinaga dalam presentasi kuliah umum di STT HKBP Pematangsiantar, hlm. 54).
[3] LihCairns, Kitab Ulangan, hlm. 144.
[4] Lih. S. Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan, BPK-GM, Jakarta
1986: hlm. 113.
[5] Lih. R. M. Paterson, Tafsiran Alkitab: Kitab Keluaran, BPK-GM,
Jakarta 2006: hlm. 222-223.
[6] Lih. Paterson, Kitab Keluaran, hlm. 268.
[7] Lih. J. Durham, WBC Vol. 3: Exodus, WACO, Texas1987:
hlm. 288-290.
[8] Lih. W. T.Miller, The Book Of Exodus: Question by Question,
Paulist Press, New Jersey 2009: hlm. 130.
[9]Lih. Paterson, Kitab Keluaran, hlm. 263.
[10] Lih. Cairns, Kitab Ulangan, hlm. 115.
[11] Lih. Paterson, Kitab Keluaran, hlm. 268.
[12] Lih. Christoph Barth, dkk,Teologi Perjanjian Lama 2, BPK-GM,
Jakarta 2010: hlm. 214.
[13] Lih. Yonky Karman, Bunga Rampai: Teologi Perjanjian Lama, BPK-GM,
Jakarta 2004: hlm. 89.
[14] Lih. Cairns, Kitab Ulangan,hlm. 115.
[15] Lih. Paterson, Kitab Keluaran, hlm. 264.
[16] Lih. C. Barth-M. C. Barth, Teologi Perjanjian Lama 1, BPK-GM,
Jakarta 2008: hlm. 226.
[17] Lih. M. Dunnam, Mastering The Old Testament: Exodus (ed:
Lloyd J. Ogilvie), Word Publishing, London 1987: hlm. 259-260.
[18] Pendapat ini juga didukung oleh
T. H. Vriezen dalam bukunya “Agama
Israel Kuno (BPK-GM, Jakarta 1981)” hlm. 267. yang mengatakan bahwa kodeks imamat (selama periode pembuangan) menetapkan
sabat sebagai puncak proses penciptaan (Kej. 1:2-4a).
[19] Lih. Paterson, Kitab Keluaran, hlm. 269.
[20] Lih. Barth, Perjanjian Lama, hlm. 122-123.
[21] Lih. Barth, Perjanjian Lama, hlm. 124-127.
[22] Lih. Gerhard Von Rad, Old Testament Theology, Harper &
Row Publishers, New York 1962: hlm. 165-166.
[23] Lih. P. A. Viviano, “Kejadian”
dalam Tafsir Alkitab Perjanjian Lama
(ed: D. Bergant & R. J. Karris), Kanisius, Yogyakarta 2002: hlm. 36.
[24] Lih.W. R. F. Browning, Kamus Alkitab: Panduan dasar ke dalam
kitab-kitab, tema, tempat, tokoh dan istilah Alkitab, BPK-GM, Jakarta 2007:
hlm. 393.
[25]Eka Darmaputera, dalam bukunya “Etika Sederhana untuk Semua: Bisnis,
Ekonomi, Dan Penatalayanan (BPK-GM, Jakarta 1990: hlm. 57) ” mengatakan bahwa Sabat bukan hanya hari ketujuh tetapi juga
tahun ketujuh yang disebut tahun sabat. Pada tahun ketujuh, tanah yang tidak
dikerjakan menjadi bagian untuk orang miskin atau bahkan untuk binatang yang
ada disitu (Kel. 23:10-11).
[26] Lih. Karman, Bunga Rampai: Teologi Perjanjian Lama,
hlm. 89.
[27] Lih. Karman, Bunga Rampai: Teologi Perjanjian Lama,
hlm. 91-96.
[28] Lih. Jonatan Burnside, God, Justice and Society: Aspects of Law
and Legality in the Bible, Oxford University Press, New York 2011: hlm. 200.