1.
Pengantar
Pujian dan syukur hanya
bagi Allah sang pencipta dan pemelihara kehidupan yang dengan kuasa-Nya
mampu menyatukan dua orang menjadi satu dan membuat mereka tak terpisah hingga akhir hayat.
Penyatuan dua insan menjadi satu daging oleh Kristus di dalam pernikahan
merupakan suatu anugerah dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, pernikahan
menjadi sorotan penting dalam kehidupan ini.
Setiap pekerjaan tidak
terlepas dari kekurangan, demikianlah dengan tulisan ini. Oleh karena itu
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan
tulisan ini di kemudian hari. Semoga
tulisan ini menambah pengetahuan kita semua dan boleh menjadi bahan persiapan
bagi kita di dalam pelayanan.
2.
Pendahuluan
Kehidupan manusia
selalu berhubungan dengan pernikahan. Ketika seorang anak masih kecil, orang
tuanya telah mendoakan anak tersebut agar suatu saat nanti ia menikah dengan
orang yang tepat. Bahkan ada orang tua yang telah memilih pasangan anaknya
untuk menjadi istri/suami dari anaknya kelak. Bukan hanya itu, orang tua juga
memikirkan setiap proses kehidupan ini menuju ke pernikahan. Misalnya, pendidikan
moral di rumah, pendidikan formal dan akademisi di sekolah, pekerjaan, rumah,
tanah, dsb. Terutama di Indonesia, ketika kita bertemu dengan seseorang kita
akan menduga-duga, apakah ia sudah, belum, atau akan menikah.
Dalam
pernikahan dua manusia yang tidak saling mengenal menjadi orang saling mengenal
luar dan dalam, mulai dari karakter, pola pikir, hobi, dsb. Pernikahan
mempertemukan suatu perbedaan dalam satu wadah dan menyatukannya serta
menciptakan suatu warna yang indah. Tetapi, tidak semua pernikahan dijalani dengan bahagia. Oleh karena
itu, penulis melihat perlunya mengkaji tentang alasan menikah dan bagaimana komitmen mereka menjalani pernikahan tersebut hingga
akhir hidupnya di tengah pergumulan yang akan mereka hadapi. Kemudian,
bagaimanakah peran gereja dalam membimbing jemaat yang akan menikah (pra-nikah)
sebagai persiapan bagi mereka untuk menjalani kehidupan pernikahan tersebut?
Lalu apakah langkah selanjutnya yang perlu dilakukan oleh gereja dalam proses
pernikahan itu, terutama ketika pasangan itu menghadapi pergumulan dalam
pernikahannya?
Penulis melihat
bimbingan pra-nikah menjadi unsur penting bagi pasangan yang akan menikah sebagai
salah satu wujud peran gereja dalam membimbing mereka dan melihat seberapa
besarkah komitmen mereka dan pemahaman mereka tentang pernikahan. Oleh karena
itu, penulis melakukan pengamatan akan proses bimbingan pra-nikah di salah satu
gereja. Penulis juga melakukan wawancara dengan sebuah pasangan
yang sudah dua hari menikah.
3.
Kasus
Komitmen dan pemahaman
tentang pernikahan yang baik, tentu tidak terlepas dari bimbingan pra-nikah
yang dilakukan gereja. Oleh karena itu, penulis mewawancarai pasangan yang
telah bimbingan tersebut. Pertanyaan dilontarkan seputar pandangan pasangan
yang bimbingan
tentang :
a. Bahan
bimbingan atau pokok-pokok pembahasan selama bimbingan
b. Manfaat
bimbingan itu dalam pernikahan mereka kelak dan bagaimana kesan mereka akan
bimbingan tersebut.
c. Alasan
mereka untuk menikah atau apakah faktor pendukung mereka untuk menikah.
d. Mengapa
bapak memilih ibu dan sebaliknya, sementara ada banyak laki-laki dan perempuan
yang bapak/ibu kenal?
e. Lalu
bagaimana jika bapak/ibu tidak memiliki anak? Pertanyaan ini sebagai
antisipasi, bukan sebuah harapan.
Berdasarkan
pertanyaan-pertanyaan ini, Bpk. D. M. L. Siahaan dan Ibu I.
W. br. Rumahorbo menjawab bahwa:
a. bahan-bahan
bimbingan atau pokok pembahasan yang diberikan oleh pelayan gereja merupakan
bahan yang sudah sering didengarkan di gereja melalui kotbah.
b. Bimbingan
pra-nikah itu hanya sebagai “intermezo
bagi kami, terutama buat saya”, kata pak Siahaan. “Jika dilihat dari durasi waktu
selama bimbingan yang hanya 15-20 menit, tentu bimbingan ini bukan untuk
memperdalam pemahaman kami, tetapi hanya mengingatkan saja akan apa yang telah
kami ketahui mengenai pernikahan”, tuturnya.
c. Lalu
untuk menjawab pertanyaan tentang alasan atau faktor pendukung pernikahan kami,
pertama Allah menciptakan manusia harus berpasangan, kedua umur
kami sudah tua dan sudah layak untuk menikah.
d. Lalu
pertanyaan mengapa harus memilih Ibu Rumahorbo menjadi istri saya dan sebaliknya, kami
yakin Tuhan yang merencanakannya. Jika dilihat dari tempat asal kami berdua,
saya dari Bagan Batu (perbatasan Riau dengan Tapanuli Selatan) dan istri saya
ini dari Parapat, ini bukanlah suatu hal yang bisa dipikirkan manusia. Apalagi
kami menikahnya di Siantar. Kami meyakini ini adalah rencana Tuhan.
e. Anak
itu adalah anugrah Tuhan, jika diijinkan oleh-Nya kami pasti memiliki seorang
anak, tetapi jika tidak, kami akan tetap bersama. Kami kan sudah berjanji di
depan pendeta dan para pelayan gereja serta di hadapan orang tua kami dan orang-orang yang mengasihi kami yang juga menghadiri upacara pernikahan. Terutama
kami telah berjanji di hadapan Tuhan. Biarlah rencananya yang terjadi dalam
kehidupan kami, tetapi kami sangat berharap juga memiliki anak.
Keseluruhan wawancara ini didominasi
oleh Pak Siahaan, sedangkan ibu Ibu Rumahorbo hanya mengangguk dan terkadang menyahut.
Penulis juga menanyakan
kepada majelis gereja yang melakukan bimbingan,
mengapa bimbingan pra-nikah dilakukan sehari sebelum pemberkatan nikah? beliau menjawab, “tidak ada pertanyaan mengapa, tetapi karena itu adalah
waktu yang tepat”. Dikatakan sebagai waktu yang tepat dikarenakan pasangan yang
akan menikah itu harus mencari waktu yang tidak mengganggu pekerjaannya.
4.
Landasan
teori
4.1.
Pengertian
a. Pendampingan
pastoral
Kata pendampingan
pastoral merupakan gabungan dua kata yang mempunyai makna pelayanan.
Pendampingan merupakan suatu kegiatan kemitraan, bahu-membahu, menemani,
membagi/berbagi dengan tujuan saling menumbuhkan dan mengutuhkan. Dalam
pendampingan terdapat kedudukan yang seimbang dan timbal-balik antara
pendamping dan yang didampingi. Sedangkan pastoral dari kata dasar pastor dalam bahasa latin dan poimen dalam bahasa Yunani yang
diterjemahkan memelihara atau menggembalakan.
Pastoral atau penggembalaan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh
pelayan gereja untuk menggembalakan jemaatnya serta menolong orang menyadari
hubungannya dengan Allah dan mengajar orang untuk mengakui ketaatannya kepada
Allah dan kasihnya kepada sesamanya.
Dari penjabaran di atas
dapat disimpulkan bahwa istilah pendampingan dan pastoral digabungkan berarti
pastoral merupakan sifat dari pekerjaan pendampingan itu sendiri. Dalam
mendampingi sesama yang menderita haruslah bersifat pastoral, pertolongan
kepada sesama yang utuh mencakup jasmani, mental, sosial, dan rohani hendaklah
bersifat pastoral. Pemahaman ini berangkat dari Allah yang adalah pencipta
bersifat merawat dan memelihara dengan baik, maka bila pastoral dihubungkan
kepada istilah pendampingan yang dimaksud untuk memperdalam makna pekerjaan
pendampingan. Dengan demikian pendampingan tidak hanya memiliki aspek
horizontal dari manusia kepada manusia, tetapi juga mewujudkan aspek vertikal
yaitu hubungan manusia dengan Allah.
b. Pernikahan
Dalam bahasa Yunani kata
gameo atau gamos diterjemahkan menjadi satu daging dan telah disatukan oleh
Allah. Kata ini menunjuk kepada pemaknaan akan pernikahan dalam kehidupan keluarga
Kristen. Sebagaimana yang dikatakan Wright bahwa pernikahan merupakan tahapan
kehidupan yang di dalamnya laki-laki dan perempuan boleh hidup bersama-sama dan
menikmati seksual secara sah. Oleh
karena itu, pernikahan juga disebut sebagai sebuah persekutuan hidup antara
pria dan wanita atas dasar ikatan cinta kasih yang penuh dengan persetujuan
bebas dari kedua pribadi dan tidak dapat ditarik kembali.
Pernikahan merupakan
suatu proses dimana manusia itu diselamatkan dari suatu kesepian yang tidak
tertahan (Kej. 2:18). Pernikahan juga merupakan suatu penghiburan yang memiliki
arti dan tanggung jawab yaitu untuk memelihara dan membahagiakan pasangannya
(Amsal 18:22, 31:10-31). Pernikahan memiliki kemungkinan untuk membentuk suatu
keluarga, memperoleh anak-anak yang harus dibimbing dan dididik kepada
kedewasaaan.
Perkawinan merupakan sebuah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga,
melahirkan anak, membangun kekerabatan yang bahagia dan sejahtera. Dalam
perkawinan ada sebuah hubungan antar pribadi yang bersifat eksklusif yang diungkapkan
dalam kesepakatan perkawinan dan diwujudkan melalui hubungan seksual yang
intim. Suami-istri harus saling melengkapi dengan kelebihan masing-masing agar
dapat mengembangkan kepribadian mereka berdua dalam mencapai kesejahteraan
lahir-batin.
4.2.Bimbingan
pra-nikah
Penggembalaan merupakan
suatu istilah struktural untuk mempersiapkan para rohaniwan untuk tugas
pastoral atau tugas penggembalaan. Oleh karena itu, ada 5 fungsi penggembalaan,
yaitu:
-
Membimbing (misalnya dalam konseling
pra-nikah)
-
Mendamaikan/memperbaiki hubungan
-
Menopang/menyokong yang mengalami krisis
kehidupan
-
Menyembuhkan orang yang berdukacita dan
yang terluka batinnya
-
Mengasuh/mendorong ke arah pengembangan,
pertumbuhan secara holistik
Berangkat dari fungsi penggembalaan yang
pertama yaitu untuk membimbing, maka bimbingan pra-nikah atau konseling
pra-nikah menjadi pembahasan. Konseling merupakan terjemahan dari kata counseling dalam bahasa Inggris yang
dimaknai sebagai pemberian nasehat, penyuluhan, bimbingan dan petunjuk.
Bimbingan pra-nikah
merupakan penggembalaan untuk meneguhkan pernikahan pemuda/i Kristen yaitu
sebelum keduanya memulai kehidupan bersama. Bimbingan itu dilakukan oleh
pendeta atau pelayan gereja dengan mengundang pasangan yang akan menikah ke
pastori untuk mengadakan percakapan pastoral. Dalam percakapan pastoral
diharapkan pendeta atau pelayan merangsang dan mengundang kedua calon mempelai
untuk berdialog dengannya agar tercipta suatu percakapan, bukan monolog.
Seorang gembala dalam proses ini harus jeli mendengar dan melihat apakah salah
satu dari pasangan tersebut masih ragu-ragu tentang seksualitas, agar gembala
boleh memberikan bimbingan Kristiani tentang hal tersebut.
Konseling pra-nikah bisa dikatakan sebagai sebuah tinjauan ulang pasangan yang
akan menikah akan hubungan mereka dari aspek pernikahan dan pendeta
memperkenalkan cara yang bisa menolong mereka membentuk pernikahan yang bahagia
dan sukses atau mengambil keputusan untuk membatalkan pernikahan. Dengan tujuan
untuk mematangkan pribadi keduanya agar mampu menghadapi persoalan hidupnya di
masa depan.
Bonar Napitupulu dalam
bukunya melihat pentingnya diadakan percakapan pra-nikah atau bimbingan
pra-nikah di HKBP dengan tujuan:
a.
Mempersiapkan calon pengantin untuk
memasuki perkawinan dengan memberikan nasihat-nasihat, seperti yang dilakukan
orang tua masyarakat batak jaman dahulu terutama kepada anak perempuan.
b.
Memberikan perkembangan pemahaman
tentang pernikahan dalam masyarakat umum maupun gereja, karena telah banyak
terjadi degradasi pemahaman tentang pernikahan yang terlihat dari banyaknya
perceraian.
c.
Memberikan pemahaman tentang pentingnya
waktu bersama keluarga. Kebanyakan suami isteri tidak punya waktu yang cukup
untuk keluarganya, dikarenakan harus berangkat kerja dari pagi dan pulang pada
malam hari.
4.3.
Pokok bahasan dalam bimbingan pra-nikah
Bimbingan pra-nikah atau percakapan pra-nikah
merupakan percakapan antara lelaki dan perempuan yang akan menikah, yang
dipandu dan diarahkan oleh pendeta. Dalam percakapan itu, ada beberapa pokok
bahasan yang harus dipercakapkan, yaitu:
a. Apakah
mereka sudah saling mengenal?
Pendeta harus membuka
pikiran pasangan yang akan menikah bahwa manusia memiliki kepribadian dan
karakter yang berbeda. Ada banyak faktor yang membuat seseorang itu berubah,
misalnya usia, pendidikan, apa yang dialaminya. Perubahan kepribadian dan
karakter membuat keduanya untuk belajar mengenal pasangannya. Proses pengenalan
harus membuat keduanya semakin dekat dan saling memperhatikan.
Pengenalan akan pribadi seseorang dapat menentukan kedewasaan dalam pernikahan.
Kedewasaan pernikahan juga dipengaruhi oleh kedewasaan setiap pribadi
(suami-isteri). Kedewasaan seseorang dapat terlihat dari kemampuannya mengambil
keputusan sendiri dan harus bertanggung jawab atas keputusan itu tanpa
mengandalkan orang lain. Keputusan yang dimaksud adalah kerelaan dan kemampuan
untuk “meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya atau
suaminya” (Kej. 2:24). Kerelaan dan kemampuan menuntut bahwa solidaritas
pertama haruslah kepada suami atau isteri dan hubungan dengan orang tua menjadi
nomor dua. Seorang yang dewasa dan siap untuk menikah adalah seorang yang
menghormati orang tuanya, tetapi ia harus sadar bahwa keputusan hidup atau
rumah tangganya ada padanya dan solidaritas pertama adalah kepada suami atau
isterinya.
Kedewasaan ini akan
membantu mereka berdua dalam mengatasi pergumulan pernikahan. Jika suami
seorang yang tidak mampu mengambil keputusan dan seorang patuh seutuhnya kepada
orang tuanya, tentu mereka sudah bercerai dan ia akan menikah lagi dengan
wanita lain. Si suami juga bisa saja melemparkan kesalahan seutuhnya kepada
isterinya, jika ia seorang yang tidak dewasa. Oleh karena itu kedewasaan merupakan
salah satu faktor pendukung kebahagiaan dalam pernikahan.
b. Apakah
mereka sudah benar-benar saling mencintai?
Pendeta harus membantu
pasangan yang akan menikah melihat apakah keduanya sudah benar-benar saling
mencintai. Cinta yang dimaksudkan bukanlah cinta rekayasa pikiran, tetapi itu
merupakan anugrah Tuhan yang sangat besar. Cinta yang dimiliki keduanya
haruslah cinta yang benar yaitu dari Tuhan. Keduanya harus disadarkan bahwa
mereka harus mencintai pasangannya seperti mencintai dirinya sendiri (Mat.
22:39). Keduanya harus mencintai dengan segenap hati dan pikiran. Keduanya
harus disadarkan apakah mereka sudah siap menerima kekurangan atau kelebihan
pasangannya. Apakah keduanya akan mengerti tentang perasaan pasangannya? Orang
yang saling mencintai adalah orang yang saling menarik dan saling
memperhatikan. Orang yang saling mencintai selalu terbuka satu sama lain agar
pasangannya mengerti dan mengetahui situasi yang dihadapinya. Orang yang saling
mencintai adalah orang yang tidak pernah bosan dengan pasangannya dan tidak
mencari alasan untuk pergi dari rumah.
c. Perjanjian
partumpolon dan pernikahan
Martumpol merupakan
suatu proses yang disebut pertunangan dengan tujuan agar pendeta bisa
mempertanyakan kepada pasangan yang akan menikah, apakah rencana pernikahan itu
kehendak mereka berdua atas dasar cinta atau atas kehendak orang lain atau
orang tua? Selain itu, pendeta juga harus menjelaskan bahwa perjanjian pada
partumpolon itu merupakan perjanjian antara mereka berdua dengan Tuhan dan
jemaat yang menghadiri acara tersebut. Keduanya harus mengerti arti perjanjian
tersebut dan mereka harus mau hidup dalam janji tersebut. Keduanya juga harus
jujur dan terbuka bahwa keduanya tidak memiliki hubungan yang khusus lagi
dengan orang lain atau tidak bertunangan dengan orang lain. Bahkan pada saat
partumpolon jemaat yang hadir, terutama orang tua keduanya harus jujur dan
terbuka, apakah mereka mengetahui hubungan khusus dengan orang lain atau
hubungan pertunangan dengan yang lain? Keterbukaan dan kejujuran ini akan
membawa keduanya ke tahap memaknai isi perjanjian tersebut.
Pernikahan merupakan
suatu proses mempersatukan mereka menjadi satu daging. Dimana keduanya takkan
terpisahkan selama mereka hidup (Mat. 19:6). Dalam pernikahan suami merupakan isy dan isteri disebut isyah yang mempunyai hakekat yang sama,
tetapi berbeda bentuk. Perempuan merupakan jodoh atau penolong yang sepadan
bagi laki-laki (Kej. 2:20-21). Orang tua keduanya menyerahkan anaknya kepada
Tuhan agar Tuhan mempersatukan mereka menjadi suami-isteri.
d. Perceraian
Ketika kebaktian
pernikahan berlangsung, keduanya telah dipersatukan menjadi satu daging dan tak
bisa dipisahkan oleh manusia. Oleh karena itu, tidak ada kata perceraian dalam
pernikahan Kristen. Dikarenakan Allah yang memanggil keduanya untuk bersatu dan
Allah sendiri yang mempersatukan mereka (Kej. 2:18). HKBP juga tidak mengakui
dan menerima perceraian, kecuali oleh perzinahan. Gereja berhak memanggil
keduanya dan menggembalakan keduanya agar kembali ke jalan Tuhan. Dalam
pernikahan ada banyak tantangan atau permasalahan yang timbul. Pernikahan
haruslah mengindahkan perasaan dan kepribadian sesamanya. Jika masalah muncul
atau perselisihan, keduanya harus menemukan kembali jalannya kepada
pasangannya, termasuk mengorbankan kepentingan perasaan sendiri. Pernikahan
merupakan suatu persekutuan hidup yang total atau menyeluruh.
e. Anak
Anak merupakan anugrah
Tuhan yang tidak boleh dituntut, tetapi hanya memohonnya kepada Tuhan. Pasangan
suami isteri yang tidak mempunyai anak, bukanlah pernikahan yang gagal. Jika
mereka menginginkan kehadiran anak dalam keluarganya, sebaiknya mereka dibantu
dengan cara-cara yang legal dan sesuai dengan prinsip-prinsip moral. Tuhan
menganugrahkan anak kepada sebuah keluarga, berarti Tuhan mempercayakan
anak-anak kepada mereka agar mereka memelihara dan mendidiknya sampai menjadi
orang dewasa dan bertanggung jawab. Anak-anak memiliki kepribadiannya sendiri
yang berbeda dari kedua orang tuanya. Oleh karena itu, orang tua harus
menghargai hal tersebut dan tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada anaknya.
Hubungan anak dan orang tua harus dibungkus dengan kasih. Meskipun anak tersebut termasuk kepada anak yang berkebutuhan khusus yang
membutuhkan pendampingan lebih dari orang tuanya. Orang tua harus tetap
menerima dan menghargainya serta mengasihinya. Orang tua harus membantu anak
tersebut agar bisa mandiri dan tidak selalu bergantung kepada belas kasihan
orang lain.
f. Ekonomi
Kesatuan antara suami
isteri juga berhubungan dengan ekonomi. Suami isteri harus sepakat tentang
pengelolaan ekonomi mereka. Segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan
keluarga mereka harus ditangani secara bersama. Ekonomi
bisa menjadi salah satu pemicu keretakan dalam pernikahan. Seperti pokok
bahasan yang diberikan oleh Gr. Aritonang bahwa keluarga Kristen yang berbudaya
batak melarang martangan pudi.
Jika salah satu melakukan hal tersebut, maka pernikahan sudah mulai tidak jujur
dan terbuka satu sama lain. Hal ini akan memicu ketidaknyamanan dalam keluarga.
g. Hubungan
dengan sanak saudara atau yang lainnya
Kehidupan pernikahan
merupakan kehidupan bersama keluarga sebagai suatu kesatuan yang baru, yang
akan berusaha untuk hidup damai dengan semua orang, termasuk sanak saudara dan
yang lainnya (Rom. 12:18). Oleh karena itu, suami atau isteri harus menganggap
mertua mereka sebagai orang tua mereka sendiri. Hal ini juga yang diharapkan
secara habatahon, jika terjadi perselisihan atau pertengkaran dalam keluarga,
lebih baik keduanya mengadu kepada mertuanya untuk menghindarkan perselisihan
antar keluarga. Orang tua biasanya sangat mengenal anaknya, sehingga ketika
menantu mengadu kepada mertua tentu mertua akan memberikan saran atau nasehat
yang baik. Mereka harus saling menolong dan saling memperhatikan.
Pokok pembahasan yang
tertera di atas tidak jauh berbeda dari bahan bimbingan yang diberikan Gr. H.
Aritonang kepada penulis. Bahan-bahan bimbingan atau pokok-pokok pembahasan
dalam bimbingan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Dasar
Rumah Tangga dari Kejadian 2:24 Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan
ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu
daging.
b. Panggilan
sebagai suami dan istri, dimana seorang suami adalah imam di dalam sebuah rumah
tangga dan istri sebagai ina soripada na pantas marroha.
c. Suami
dan istri adalah satu daging yang telah dipersatukan oleh Kristus.
d. Dalam
kekristenan tidak mengenal kata perceraian, karena yang telah dipersatukan oleh
Allah tidak dapat dipisahkan oleh manusia (Mat. 19:6).
e. Membina
hubungan yang baik dengan mertua atau keluarga dari lelaki/perempuan.
f. Dalam
ekonomi keluarga tidak boleh ada yang martangan pudi atau memberikan uang
kepada keluarga/orang tuanya tanpa sepengetahuan suami/istrinya.
g. Dalam
sebuah pernikahan selalu ada perkelahian, oleh karena itu diharuskan si suami
mengadu pada mertuanya dan si istri mengadu kepada mertuanya, bukan kepada
orang tua masing-masing untuk menghindari perselisihan antara keluarga si
perempuan dan si laki-laki. Ini sesuai dengan habatahon.
h. Anak
merupakan anugrah Tuhan, jadi jika Tuhan memberikan anugrah itu harus dijaga
dan bimbing dengan baik sesuai dengan kehendak Tuhan. Jika tidak memiliki
seorang anak, maka tidak ada kata cerai atau berpisah, karena sudah berjanji
kepada Tuhan di gereja, dan juga pendeta, serta jemaat yang datang bahwa kalian
tidak akan berpisah sampai kematian.
i.
Rumah tangga merupakan gereja mini. Oleh
karena itu rumah tangga itu harus menjadi tempat penyataan kehendak Allah dalam
dunia ini.
5.
Analisa
Pemahaman akan
pernikahan yang kristiani dapat diketahui dari bimbingan pra-nikah. Oleh karena
itu hampir semua gereja melakukan bimbingan pra-nikah terhadap jemaat yang akan
menikah sebelum pemberkatan berlangsung. Namun, pelaksanaan bimbingan pra-nikah tersebut tidak dilakukan sebagaimana yang sebaiknya (kuantitas pertemuan). Hal ini terjadi karena waktu luang
dari pasangan yang akan menikah tidak banyak. Kesibukan akan pekerjaan atau
cuti kerja yang diberikan perusahaan atau tempat pekerjaan yang singkat. Selain
itu, kemungkinan bahwa pasangan itu akan kembali ke perantauan atau tidak
berdomisili di sekitar gereja yang menjadi tempat pemberkatan nikah.
Di sisi lain, jemaat
melihat bahwa bimbingan pra-nikah itu hanya sebagai penegasan akan apa yang
sering didengar pada saat kotbah
atau yang sering diajarkan di gereja atau di rumah. Jemaat melihat bimbingan
itu hanya sebagai formalitas atau syarat untuk pemberkatan nikah. Ini terbukti
dari jawaban Pak Siahaan yang mengatakan bimbingan itu hanya sebuah “intermezo”. beliau mengatakan hal tersebut, disebabkan waktu yang mereka gunakan untuk
bimbingan hanya sekitar 15-20 menit. padahal pokok pembahasan yang
diberikan majelis gereja bersangkutan membutuhkan waktu 1-2
jam lebih. dengan demikian, penulis menganalisa pokok pembahasan tersebut hanya dijelaskan saja tanpa ada diskusi yang mendalam.
7.
Kesimpulan
Pernikahan memang hal
yang sangat penting bagi manusia. Pernikahan yang menyatukan orang yang saling
mencintai dan juga saling menopang. Pernikahan bisa menghilangkan rasa kesepian
dan merasa memiliki seseorang yang akan selalu ada. Tetapi pergumulan dalam
menjalani pernikahan itu juga menuntut gereja untuk memberikan topangan yang
dimulai dari persiapan pernikahan yang disebut dengan bimbingan/konseling
pra-nikah. Kemudian dilanjutkan dengan pendampingan pastoral keluarga. Bimbingan
pra-nikah bisa mengingatkan mereka tentang bagaimana pertama kalinya mereka
bertemu dan seberapa dalam pengenalannya akan pasangannya. Bimbingan juga
memberikan pedoman atau arahan akan apa yang dilakukan agar tercipta sebuah
keluarga yang harmonis dan sesuai kehendak Tuhan. Pendampingan pastoral menjadi
peneguhan bagi mereka menjalani pernikahan yang banyak pergumulan dan
tantangan. Mereka kembali diteguhkan akan janji nikah yang mereka lakukan. Dengan
demikian, akan berkurang keluarga Kristen yang ingin bercerai. Tetapi mereka boleh
memaknai kehadiran Kristus dalam menghadapi pergumulan itu melalui gereja.
Daftar
Pustaka
1.
Sumber
primer
Wawancara dengan majelis gereja pada hari Jumat, tanggal 28 Maret 2014, pkl. 16.00 Wib.
Wawancara dengan Bapak
D. M. L. Siahaan dan Ibu I. W. br. Rumahorbo pada hari Minggu, tanggal 30 Maret 2014, pkl. 09.00-10.00 Wib.
2.
Sumber
skunder
Beek,
Aart van
1999 Pendampingan Pastoral, Jakarta (BPK-GM).
Bons-Storm,
M.
1988 Apakah Penggembalaan itu?: petunjuk praktis pelayanan pastoral,
Jakarta (BPK-GM).
Budyapranata,
A.
1987 Etika Praktis berdasarkan Sepuluh Perintah Allah, Yogyakarta
(ANDI).
C.
Oden, Thomas
1983 Pastoral Theology, San Francisco (Harper and Row Publishing).
Clinebell,
H. J.
2002 Tipe-tipe Dasar Pendampingan Pastoral dan Konseling Pastoral,
Yogyakarta (Kanisius).
Douglas, J. D.
2007 Ensiklopedia Alkitab Masa Kini jilid II: M-Z, Jakarta (YKBK/OMF).
Hulme,
W. E.
1956 Counseling and Theory, Philadelphia (Muhlenberg Press).
Kittel,
G.
1965 The Dictionary New Testament vol. I,
Michigan (Grand Rapids).
Konferensi
Wali Gereja,
2011 Pedoman Pastoral Keluarga, Jakarta
(OBOR).
Moltman,
Jurgen
1977 The Church in the Power of The Spirit, London (SCM Press).
Napitupulu,
B.
2012 Beberapa Catatan tentang beberapa topik pemahaman Teologi HKBP: uraian
pemahaman menuju pengembangan jati diri HKBP, Tarutung (Kantor Pusat HKBP).
Oates,
W.
1957 An Introduction To Pastoral Counseling, New York (Broadman Press).
Peterson,
Evelyn
1980 Who Cares? : A Handbook of Christian
Counselling, The Paternoster Press.
Warneck,
J.
2012 Kamus Batak Toba-Indonesia (Penerj: P. Leo Joosten), Medan (BMP).
Lipan,
Parna
6 April 2013 Umpasa untuk Pernikahan Adat Batak, http://partukko.blogspot.com/2013/04/umpasa-untuk-pernikahan-adat-batak.html,
di akses 16 April 2014, pkl. 18.45 WIB.
Sutriyanto,
Eko
22 Februari 2012 Pria
Mandul Sumbang 30-40% Ketidaksuburan Pasutri, https://id.she.yahoo.com/pria-mandul-sumbang-30-40-persen-ketidaksuburan-pasutri-105531501.html,
pkl. 17.55 Wib, di akses pada 16 April 2014, pkl. 20.17 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar