Rabu, 28 Desember 2016

Pendampingan Pastoral Pra-nikah (counseling pre-wedding)




1.    Pengantar
Pujian dan syukur hanya bagi Allah sang pencipta dan pemelihara kehidupan yang dengan kuasa-Nya mampu menyatukan dua orang menjadi satu dan membuat mereka tak terpisah hingga akhir hayat. Penyatuan dua insan menjadi satu daging oleh Kristus di dalam pernikahan merupakan suatu anugerah dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, pernikahan menjadi sorotan penting dalam kehidupan ini.
Setiap pekerjaan tidak terlepas dari kekurangan, demikianlah dengan tulisan ini. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan tulisan ini di kemudian hari. Semoga tulisan ini menambah pengetahuan kita semua dan boleh menjadi bahan persiapan bagi kita di dalam pelayanan.
2.    Pendahuluan
Kehidupan manusia selalu berhubungan dengan pernikahan. Ketika seorang anak masih kecil, orang tuanya telah mendoakan anak tersebut agar suatu saat nanti ia menikah dengan orang yang tepat. Bahkan ada orang tua yang telah memilih pasangan anaknya untuk menjadi istri/suami dari anaknya kelak. Bukan hanya itu, orang tua juga memikirkan setiap proses kehidupan ini menuju ke pernikahan. Misalnya, pendidikan moral di rumah, pendidikan formal dan akademisi di sekolah, pekerjaan, rumah, tanah, dsb. Terutama di Indonesia, ketika kita bertemu dengan seseorang kita akan menduga-duga, apakah ia sudah, belum, atau akan menikah.
Dalam pernikahan dua manusia yang tidak saling mengenal menjadi orang saling mengenal luar dan dalam, mulai dari karakter, pola pikir, hobi, dsb. Pernikahan mempertemukan suatu perbedaan dalam satu wadah dan menyatukannya serta menciptakan suatu warna yang indah.  Tetapi, tidak semua pernikahan dijalani dengan bahagia. Oleh karena itu, penulis melihat perlunya mengkaji tentang alasan menikah dan bagaimana komitmen mereka menjalani pernikahan tersebut hingga akhir hidupnya di tengah pergumulan yang akan mereka hadapi. Kemudian, bagaimanakah peran gereja dalam membimbing jemaat yang akan menikah (pra-nikah) sebagai persiapan bagi mereka untuk menjalani kehidupan pernikahan tersebut? Lalu apakah langkah selanjutnya yang perlu dilakukan oleh gereja dalam proses pernikahan itu, terutama ketika pasangan itu menghadapi pergumulan dalam pernikahannya?  
Penulis melihat bimbingan pra-nikah menjadi unsur penting bagi pasangan yang akan menikah sebagai salah satu wujud peran gereja dalam membimbing mereka dan melihat seberapa besarkah komitmen mereka dan pemahaman mereka tentang pernikahan. Oleh karena itu, penulis melakukan pengamatan akan proses bimbingan pra-nikah di salah satu gereja. Penulis juga melakukan wawancara dengan sebuah pasangan yang sudah dua hari menikah.
3.    Kasus
Komitmen dan pemahaman tentang pernikahan yang baik, tentu tidak terlepas dari bimbingan pra-nikah yang dilakukan gereja. Oleh karena itu, penulis mewawancarai pasangan yang telah bimbingan tersebut. Pertanyaan dilontarkan seputar pandangan pasangan yang bimbingan
tentang :
a.       Bahan bimbingan atau pokok-pokok pembahasan selama bimbingan
b.      Manfaat bimbingan itu dalam pernikahan mereka kelak dan bagaimana kesan mereka akan bimbingan tersebut.
c.       Alasan mereka untuk menikah atau apakah faktor pendukung mereka untuk menikah.
d.      Mengapa bapak memilih ibu dan sebaliknya, sementara ada banyak laki-laki dan perempuan yang bapak/ibu kenal?
e.       Lalu bagaimana jika bapak/ibu tidak memiliki anak? Pertanyaan ini sebagai antisipasi, bukan sebuah harapan.
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan ini, Bpk. D. M. L. Siahaan dan Ibu I. W. br. Rumahorbo menjawab bahwa:
a.    bahan-bahan bimbingan atau pokok pembahasan yang diberikan oleh pelayan gereja merupakan bahan yang sudah sering didengarkan di gereja melalui kotbah. 
b.    Bimbingan pra-nikah itu hanya sebagai “intermezo bagi kami, terutama buat saya”, kata pak Siahaan. “Jika dilihat dari durasi waktu selama bimbingan yang hanya 15-20 menit, tentu bimbingan ini bukan untuk memperdalam pemahaman kami, tetapi hanya mengingatkan saja akan apa yang telah kami ketahui mengenai pernikahan”, tuturnya.
c.    Lalu untuk menjawab pertanyaan tentang alasan atau faktor pendukung pernikahan kami, pertama Allah menciptakan manusia harus berpasangan, kedua umur kami sudah tua dan sudah layak untuk menikah.
d.    Lalu pertanyaan mengapa harus memilih Ibu Rumahorbo menjadi istri saya dan sebaliknya, kami yakin Tuhan yang merencanakannya. Jika dilihat dari tempat asal kami berdua, saya dari Bagan Batu (perbatasan Riau dengan Tapanuli Selatan) dan istri saya ini dari Parapat, ini bukanlah suatu hal yang bisa dipikirkan manusia. Apalagi kami menikahnya di Siantar. Kami meyakini ini adalah rencana Tuhan.
e.    Anak itu adalah anugrah Tuhan, jika diijinkan oleh-Nya kami pasti memiliki seorang anak, tetapi jika tidak, kami akan tetap bersama. Kami kan sudah berjanji di depan pendeta dan para pelayan gereja serta di hadapan orang tua kami dan orang-orang yang mengasihi kami yang juga menghadiri upacara pernikahan. Terutama kami telah berjanji di hadapan Tuhan. Biarlah rencananya yang terjadi dalam kehidupan kami, tetapi kami sangat berharap juga memiliki anak.
Keseluruhan wawancara ini didominasi oleh Pak Siahaan, sedangkan ibu Ibu Rumahorbo hanya mengangguk dan terkadang menyahut.
Penulis juga menanyakan kepada majelis gereja yang melakukan bimbingan, mengapa bimbingan pra-nikah dilakukan sehari sebelum pemberkatan nikah? beliau menjawab, “tidak ada pertanyaan mengapa, tetapi karena itu adalah waktu yang tepat”. Dikatakan sebagai waktu yang tepat dikarenakan pasangan yang akan menikah itu harus mencari waktu yang tidak mengganggu pekerjaannya.
4.    Landasan teori
4.1. Pengertian
a.       Pendampingan pastoral
Kata pendampingan pastoral merupakan gabungan dua kata yang mempunyai makna pelayanan. Pendampingan merupakan suatu kegiatan kemitraan, bahu-membahu, menemani, membagi/berbagi dengan tujuan saling menumbuhkan dan mengutuhkan. Dalam pendampingan terdapat kedudukan yang seimbang dan timbal-balik antara pendamping dan yang didampingi. Sedangkan pastoral dari kata dasar pastor dalam bahasa latin dan poimen dalam bahasa Yunani yang diterjemahkan memelihara atau menggembalakan. Pastoral atau penggembalaan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh pelayan gereja untuk menggembalakan jemaatnya serta menolong orang menyadari hubungannya dengan Allah dan mengajar orang untuk mengakui ketaatannya kepada Allah dan kasihnya kepada sesamanya.
Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa istilah pendampingan dan pastoral digabungkan berarti pastoral merupakan sifat dari pekerjaan pendampingan itu sendiri. Dalam mendampingi sesama yang menderita haruslah bersifat pastoral, pertolongan kepada sesama yang utuh mencakup jasmani, mental, sosial, dan rohani hendaklah bersifat pastoral. Pemahaman ini berangkat dari Allah yang adalah pencipta bersifat merawat dan memelihara dengan baik, maka bila pastoral dihubungkan kepada istilah pendampingan yang dimaksud untuk memperdalam makna pekerjaan pendampingan. Dengan demikian pendampingan tidak hanya memiliki aspek horizontal dari manusia kepada manusia, tetapi juga mewujudkan aspek vertikal yaitu hubungan manusia dengan Allah.
b.      Pernikahan
Dalam bahasa Yunani kata gameo atau gamos diterjemahkan menjadi satu daging dan telah disatukan oleh Allah. Kata ini menunjuk kepada pemaknaan akan pernikahan dalam kehidupan keluarga Kristen. Sebagaimana yang dikatakan Wright bahwa pernikahan merupakan tahapan kehidupan yang di dalamnya laki-laki dan perempuan boleh hidup bersama-sama dan menikmati seksual secara sah. Oleh karena itu, pernikahan juga disebut sebagai sebuah persekutuan hidup antara pria dan wanita atas dasar ikatan cinta kasih yang penuh dengan persetujuan bebas dari kedua pribadi dan tidak dapat ditarik kembali.
Pernikahan merupakan suatu proses dimana manusia itu diselamatkan dari suatu kesepian yang tidak tertahan (Kej. 2:18). Pernikahan juga merupakan suatu penghiburan yang memiliki arti dan tanggung jawab yaitu untuk memelihara dan membahagiakan pasangannya (Amsal 18:22, 31:10-31). Pernikahan memiliki kemungkinan untuk membentuk suatu keluarga, memperoleh anak-anak yang harus dibimbing dan dididik kepada kedewasaaan. Perkawinan merupakan sebuah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga, melahirkan anak, membangun kekerabatan yang bahagia dan sejahtera. Dalam perkawinan ada sebuah hubungan antar pribadi yang bersifat eksklusif yang diungkapkan dalam kesepakatan perkawinan dan diwujudkan melalui hubungan seksual yang intim. Suami-istri harus saling melengkapi dengan kelebihan masing-masing agar dapat mengembangkan kepribadian mereka berdua dalam mencapai kesejahteraan lahir-batin.
4.2.Bimbingan pra-nikah
Penggembalaan merupakan suatu istilah struktural untuk mempersiapkan para rohaniwan untuk tugas pastoral atau tugas penggembalaan. Oleh karena itu, ada 5 fungsi penggembalaan, yaitu:
-          Membimbing (misalnya dalam konseling pra-nikah)
-          Mendamaikan/memperbaiki hubungan
-          Menopang/menyokong yang mengalami krisis kehidupan
-          Menyembuhkan orang yang berdukacita dan yang terluka batinnya
-          Mengasuh/mendorong ke arah pengembangan, pertumbuhan secara holistik
Berangkat dari fungsi penggembalaan yang pertama yaitu untuk membimbing, maka bimbingan pra-nikah atau konseling pra-nikah menjadi pembahasan. Konseling merupakan terjemahan dari kata counseling dalam bahasa Inggris yang dimaknai sebagai pemberian nasehat, penyuluhan, bimbingan dan petunjuk.
Bimbingan pra-nikah merupakan penggembalaan untuk meneguhkan pernikahan pemuda/i Kristen yaitu sebelum keduanya memulai kehidupan bersama. Bimbingan itu dilakukan oleh pendeta atau pelayan gereja dengan mengundang pasangan yang akan menikah ke pastori untuk mengadakan percakapan pastoral. Dalam percakapan pastoral diharapkan pendeta atau pelayan merangsang dan mengundang kedua calon mempelai untuk berdialog dengannya agar tercipta suatu percakapan, bukan monolog. Seorang gembala dalam proses ini harus jeli mendengar dan melihat apakah salah satu dari pasangan tersebut masih ragu-ragu tentang seksualitas, agar gembala boleh memberikan bimbingan Kristiani tentang hal tersebut. Konseling pra-nikah bisa dikatakan sebagai sebuah tinjauan ulang pasangan yang akan menikah akan hubungan mereka dari aspek pernikahan dan pendeta memperkenalkan cara yang bisa menolong mereka membentuk pernikahan yang bahagia dan sukses atau mengambil keputusan untuk membatalkan pernikahan. Dengan tujuan untuk mematangkan pribadi keduanya agar mampu menghadapi persoalan hidupnya di masa depan.
Bonar Napitupulu dalam bukunya melihat pentingnya diadakan percakapan pra-nikah atau bimbingan pra-nikah di HKBP dengan tujuan:
a.       Mempersiapkan calon pengantin untuk memasuki perkawinan dengan memberikan nasihat-nasihat, seperti yang dilakukan orang tua masyarakat batak jaman dahulu terutama kepada anak perempuan.
b.      Memberikan perkembangan pemahaman tentang pernikahan dalam masyarakat umum maupun gereja, karena telah banyak terjadi degradasi pemahaman tentang pernikahan yang terlihat dari banyaknya perceraian.
c.       Memberikan pemahaman tentang pentingnya waktu bersama keluarga. Kebanyakan suami isteri tidak punya waktu yang cukup untuk keluarganya, dikarenakan harus berangkat kerja dari pagi dan pulang pada malam hari.
4.3. Pokok bahasan dalam bimbingan pra-nikah
Bimbingan pra-nikah atau percakapan pra-nikah merupakan percakapan antara lelaki dan perempuan yang akan menikah, yang dipandu dan diarahkan oleh pendeta. Dalam percakapan itu, ada beberapa pokok bahasan yang harus dipercakapkan, yaitu:
a.       Apakah mereka sudah saling mengenal?
Pendeta harus membuka pikiran pasangan yang akan menikah bahwa manusia memiliki kepribadian dan karakter yang berbeda. Ada banyak faktor yang membuat seseorang itu berubah, misalnya usia, pendidikan, apa yang dialaminya. Perubahan kepribadian dan karakter membuat keduanya untuk belajar mengenal pasangannya. Proses pengenalan harus membuat keduanya semakin dekat dan saling memperhatikan. Pengenalan akan pribadi seseorang dapat menentukan kedewasaan dalam pernikahan. Kedewasaan pernikahan juga dipengaruhi oleh kedewasaan setiap pribadi (suami-isteri). Kedewasaan seseorang dapat terlihat dari kemampuannya mengambil keputusan sendiri dan harus bertanggung jawab atas keputusan itu tanpa mengandalkan orang lain. Keputusan yang dimaksud adalah kerelaan dan kemampuan untuk “meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya atau suaminya” (Kej. 2:24). Kerelaan dan kemampuan menuntut bahwa solidaritas pertama haruslah kepada suami atau isteri dan hubungan dengan orang tua menjadi nomor dua. Seorang yang dewasa dan siap untuk menikah adalah seorang yang menghormati orang tuanya, tetapi ia harus sadar bahwa keputusan hidup atau rumah tangganya ada padanya dan solidaritas pertama adalah kepada suami atau isterinya.
Kedewasaan ini akan membantu mereka berdua dalam mengatasi pergumulan pernikahan. Jika suami seorang yang tidak mampu mengambil keputusan dan seorang patuh seutuhnya kepada orang tuanya, tentu mereka sudah bercerai dan ia akan menikah lagi dengan wanita lain. Si suami juga bisa saja melemparkan kesalahan seutuhnya kepada isterinya, jika ia seorang yang tidak dewasa. Oleh karena itu kedewasaan merupakan salah satu faktor pendukung kebahagiaan dalam pernikahan.
b.      Apakah mereka sudah benar-benar saling mencintai?
Pendeta harus membantu pasangan yang akan menikah melihat apakah keduanya sudah benar-benar saling mencintai. Cinta yang dimaksudkan bukanlah cinta rekayasa pikiran, tetapi itu merupakan anugrah Tuhan yang sangat besar. Cinta yang dimiliki keduanya haruslah cinta yang benar yaitu dari Tuhan. Keduanya harus disadarkan bahwa mereka harus mencintai pasangannya seperti mencintai dirinya sendiri (Mat. 22:39). Keduanya harus mencintai dengan segenap hati dan pikiran. Keduanya harus disadarkan apakah mereka sudah siap menerima kekurangan atau kelebihan pasangannya. Apakah keduanya akan mengerti tentang perasaan pasangannya? Orang yang saling mencintai adalah orang yang saling menarik dan saling memperhatikan. Orang yang saling mencintai selalu terbuka satu sama lain agar pasangannya mengerti dan mengetahui situasi yang dihadapinya. Orang yang saling mencintai adalah orang yang tidak pernah bosan dengan pasangannya dan tidak mencari alasan untuk pergi dari rumah.
c.       Perjanjian partumpolon dan pernikahan
Martumpol merupakan suatu proses yang disebut pertunangan dengan tujuan agar pendeta bisa mempertanyakan kepada pasangan yang akan menikah, apakah rencana pernikahan itu kehendak mereka berdua atas dasar cinta atau atas kehendak orang lain atau orang tua? Selain itu, pendeta juga harus menjelaskan bahwa perjanjian pada partumpolon itu merupakan perjanjian antara mereka berdua dengan Tuhan dan jemaat yang menghadiri acara tersebut. Keduanya harus mengerti arti perjanjian tersebut dan mereka harus mau hidup dalam janji tersebut. Keduanya juga harus jujur dan terbuka bahwa keduanya tidak memiliki hubungan yang khusus lagi dengan orang lain atau tidak bertunangan dengan orang lain. Bahkan pada saat partumpolon jemaat yang hadir, terutama orang tua keduanya harus jujur dan terbuka, apakah mereka mengetahui hubungan khusus dengan orang lain atau hubungan pertunangan dengan yang lain? Keterbukaan dan kejujuran ini akan membawa keduanya ke tahap memaknai isi perjanjian tersebut.
Pernikahan merupakan suatu proses mempersatukan mereka menjadi satu daging. Dimana keduanya takkan terpisahkan selama mereka hidup (Mat. 19:6). Dalam pernikahan suami merupakan isy dan isteri disebut isyah yang mempunyai hakekat yang sama, tetapi berbeda bentuk. Perempuan merupakan jodoh atau penolong yang sepadan bagi laki-laki (Kej. 2:20-21). Orang tua keduanya menyerahkan anaknya kepada Tuhan agar Tuhan mempersatukan mereka menjadi suami-isteri.
d.      Perceraian
Ketika kebaktian pernikahan berlangsung, keduanya telah dipersatukan menjadi satu daging dan tak bisa dipisahkan oleh manusia. Oleh karena itu, tidak ada kata perceraian dalam pernikahan Kristen. Dikarenakan Allah yang memanggil keduanya untuk bersatu dan Allah sendiri yang mempersatukan mereka (Kej. 2:18). HKBP juga tidak mengakui dan menerima perceraian, kecuali oleh perzinahan. Gereja berhak memanggil keduanya dan menggembalakan keduanya agar kembali ke jalan Tuhan. Dalam pernikahan ada banyak tantangan atau permasalahan yang timbul. Pernikahan haruslah mengindahkan perasaan dan kepribadian sesamanya. Jika masalah muncul atau perselisihan, keduanya harus menemukan kembali jalannya kepada pasangannya, termasuk mengorbankan kepentingan perasaan sendiri. Pernikahan merupakan suatu persekutuan hidup yang total atau menyeluruh.
e.       Anak
Anak merupakan anugrah Tuhan yang tidak boleh dituntut, tetapi hanya memohonnya kepada Tuhan. Pasangan suami isteri yang tidak mempunyai anak, bukanlah pernikahan yang gagal. Jika mereka menginginkan kehadiran anak dalam keluarganya, sebaiknya mereka dibantu dengan cara-cara yang legal dan sesuai dengan prinsip-prinsip moral. Tuhan menganugrahkan anak kepada sebuah keluarga, berarti Tuhan mempercayakan anak-anak kepada mereka agar mereka memelihara dan mendidiknya sampai menjadi orang dewasa dan bertanggung jawab. Anak-anak memiliki kepribadiannya sendiri yang berbeda dari kedua orang tuanya. Oleh karena itu, orang tua harus menghargai hal tersebut dan tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada anaknya. Hubungan anak dan orang tua harus dibungkus dengan kasih. Meskipun anak tersebut termasuk kepada anak yang berkebutuhan khusus yang membutuhkan pendampingan lebih dari orang tuanya. Orang tua harus tetap menerima dan menghargainya serta mengasihinya. Orang tua harus membantu anak tersebut agar bisa mandiri dan tidak selalu bergantung kepada belas kasihan orang lain.
f.       Ekonomi
Kesatuan antara suami isteri juga berhubungan dengan ekonomi. Suami isteri harus sepakat tentang pengelolaan ekonomi mereka. Segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan keluarga mereka harus ditangani secara bersama. Ekonomi bisa menjadi salah satu pemicu keretakan dalam pernikahan. Seperti pokok bahasan yang diberikan oleh Gr. Aritonang bahwa keluarga Kristen yang berbudaya batak melarang martangan pudi. Jika salah satu melakukan hal tersebut, maka pernikahan sudah mulai tidak jujur dan terbuka satu sama lain. Hal ini akan memicu ketidaknyamanan dalam keluarga.
g.      Hubungan dengan sanak saudara atau yang lainnya
Kehidupan pernikahan merupakan kehidupan bersama keluarga sebagai suatu kesatuan yang baru, yang akan berusaha untuk hidup damai dengan semua orang, termasuk sanak saudara dan yang lainnya (Rom. 12:18). Oleh karena itu, suami atau isteri harus menganggap mertua mereka sebagai orang tua mereka sendiri. Hal ini juga yang diharapkan secara habatahon, jika terjadi perselisihan atau pertengkaran dalam keluarga, lebih baik keduanya mengadu kepada mertuanya untuk menghindarkan perselisihan antar keluarga. Orang tua biasanya sangat mengenal anaknya, sehingga ketika menantu mengadu kepada mertua tentu mertua akan memberikan saran atau nasehat yang baik. Mereka harus saling menolong dan saling memperhatikan.
Pokok pembahasan yang tertera di atas tidak jauh berbeda dari bahan bimbingan yang diberikan Gr. H. Aritonang kepada penulis. Bahan-bahan bimbingan atau pokok-pokok pembahasan dalam bimbingan tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Dasar Rumah Tangga dari Kejadian 2:24 Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.
b.      Panggilan sebagai suami dan istri, dimana seorang suami adalah imam di dalam sebuah rumah tangga dan istri sebagai ina soripada na pantas marroha.
c.       Suami dan istri adalah satu daging yang telah dipersatukan oleh Kristus.
d.      Dalam kekristenan tidak mengenal kata perceraian, karena yang telah dipersatukan oleh Allah tidak dapat dipisahkan oleh manusia (Mat. 19:6).
e.       Membina hubungan yang baik dengan mertua atau keluarga dari lelaki/perempuan.
f.       Dalam ekonomi keluarga tidak boleh ada yang martangan pudi atau memberikan uang kepada keluarga/orang tuanya tanpa sepengetahuan suami/istrinya.
g.      Dalam sebuah pernikahan selalu ada perkelahian, oleh karena itu diharuskan si suami mengadu pada mertuanya dan si istri mengadu kepada mertuanya, bukan kepada orang tua masing-masing untuk menghindari perselisihan antara keluarga si perempuan dan si laki-laki. Ini sesuai dengan habatahon.
h.      Anak merupakan anugrah Tuhan, jadi jika Tuhan memberikan anugrah itu harus dijaga dan bimbing dengan baik sesuai dengan kehendak Tuhan. Jika tidak memiliki seorang anak, maka tidak ada kata cerai atau berpisah, karena sudah berjanji kepada Tuhan di gereja, dan juga pendeta, serta jemaat yang datang bahwa kalian tidak akan berpisah sampai kematian.
i.        Rumah tangga merupakan gereja mini. Oleh karena itu rumah tangga itu harus menjadi tempat penyataan kehendak Allah dalam dunia ini.
5.    Analisa
Pemahaman akan pernikahan yang kristiani dapat diketahui dari bimbingan pra-nikah. Oleh karena itu hampir semua gereja melakukan bimbingan pra-nikah terhadap jemaat yang akan menikah sebelum pemberkatan berlangsung. Namun, pelaksanaan bimbingan pra-nikah tersebut tidak dilakukan sebagaimana yang sebaiknya (kuantitas pertemuan). Hal ini terjadi karena waktu luang dari pasangan yang akan menikah tidak banyak. Kesibukan akan pekerjaan atau cuti kerja yang diberikan perusahaan atau tempat pekerjaan yang singkat. Selain itu, kemungkinan bahwa pasangan itu akan kembali ke perantauan atau tidak berdomisili di sekitar gereja yang menjadi tempat pemberkatan nikah.
Di sisi lain, jemaat melihat bahwa bimbingan pra-nikah itu hanya sebagai penegasan akan apa yang sering didengar pada saat kotbah atau yang sering diajarkan di gereja atau di rumah. Jemaat melihat bimbingan itu hanya sebagai formalitas atau syarat untuk pemberkatan nikah. Ini terbukti dari jawaban Pak Siahaan yang mengatakan bimbingan itu hanya sebuah “intermezo”. beliau mengatakan hal tersebut, disebabkan waktu yang mereka gunakan untuk bimbingan hanya sekitar 15-20 menit. padahal pokok pembahasan yang diberikan majelis gereja bersangkutan membutuhkan waktu 1-2 jam lebih. dengan demikian, penulis menganalisa pokok pembahasan tersebut hanya dijelaskan saja tanpa ada diskusi yang mendalam. 

7.    Kesimpulan
Pernikahan memang hal yang sangat penting bagi manusia. Pernikahan yang menyatukan orang yang saling mencintai dan juga saling menopang. Pernikahan bisa menghilangkan rasa kesepian dan merasa memiliki seseorang yang akan selalu ada. Tetapi pergumulan dalam menjalani pernikahan itu juga menuntut gereja untuk memberikan topangan yang dimulai dari persiapan pernikahan yang disebut dengan bimbingan/konseling pra-nikah. Kemudian dilanjutkan dengan pendampingan pastoral keluarga. Bimbingan pra-nikah bisa mengingatkan mereka tentang bagaimana pertama kalinya mereka bertemu dan seberapa dalam pengenalannya akan pasangannya. Bimbingan juga memberikan pedoman atau arahan akan apa yang dilakukan agar tercipta sebuah keluarga yang harmonis dan sesuai kehendak Tuhan. Pendampingan pastoral menjadi peneguhan bagi mereka menjalani pernikahan yang banyak pergumulan dan tantangan. Mereka kembali diteguhkan akan janji nikah yang mereka lakukan. Dengan demikian, akan berkurang keluarga Kristen yang ingin bercerai. Tetapi mereka boleh memaknai kehadiran Kristus dalam menghadapi pergumulan itu melalui gereja.













Daftar Pustaka

1.    Sumber primer
Wawancara dengan majelis gereja pada hari Jumat, tanggal 28 Maret 2014, pkl. 16.00 Wib.

Wawancara dengan Bapak D. M. L. Siahaan dan Ibu I. W. br. Rumahorbo pada hari Minggu, tanggal 30 Maret 2014, pkl. 09.00-10.00 Wib.

2.    Sumber skunder
Beek, Aart van
1999                            Pendampingan Pastoral, Jakarta (BPK-GM).
Bons-Storm, M.
1988                            Apakah Penggembalaan itu?: petunjuk praktis pelayanan pastoral, Jakarta (BPK-GM).
Budyapranata, A.
1987                            Etika Praktis berdasarkan Sepuluh Perintah Allah, Yogyakarta (ANDI).
C. Oden, Thomas
1983                            Pastoral Theology, San Francisco (Harper and Row Publishing).
Clinebell, H. J.
2002                            Tipe-tipe Dasar Pendampingan Pastoral dan Konseling Pastoral, Yogyakarta (Kanisius).
Douglas, J. D.
2007                            Ensiklopedia Alkitab Masa Kini jilid II: M-Z, Jakarta (YKBK/OMF).
Hulme, W. E.
1956                            Counseling and Theory, Philadelphia (Muhlenberg Press).
Kittel, G.
1965                The Dictionary New Testament vol. I, Michigan (Grand Rapids).
Konferensi Wali Gereja,
2011                            Pedoman Pastoral Keluarga, Jakarta (OBOR).      
Moltman, Jurgen
1977                            The Church in the Power of The Spirit, London (SCM Press).
Napitupulu, B.
2012                            Beberapa Catatan tentang beberapa topik pemahaman Teologi HKBP: uraian pemahaman menuju pengembangan jati diri HKBP, Tarutung (Kantor Pusat HKBP).
Oates, W.
1957                            An Introduction To Pastoral Counseling, New York (Broadman Press).
Peterson, Evelyn
1980                                               Who Cares? : A Handbook of Christian Counselling, The Paternoster Press.
Warneck, J.
2012                            Kamus Batak Toba-Indonesia (Penerj: P. Leo Joosten), Medan (BMP).
Lipan, Parna
6 April 2013                Umpasa untuk Pernikahan Adat Batak, http://partukko.blogspot.com/2013/04/umpasa-untuk-pernikahan-adat-batak.html, di akses 16 April 2014, pkl. 18.45 WIB. 
Sutriyanto, Eko
22 Februari 2012         Pria Mandul Sumbang 30-40% Ketidaksuburan Pasutri, https://id.she.yahoo.com/pria-mandul-sumbang-30-40-persen-ketidaksuburan-pasutri-105531501.html, pkl. 17.55 Wib, di akses pada 16 April 2014, pkl. 20.17 WIB.


Tidak ada komentar: